Sewakan Kembali Pembangkit PLN, Liberalisasi Listrik Nasional
Sungguh sangat disayangkan agenda terbaru pemerintah yang menyewakan kembali (lease back) puluhan pembangkit listrik milik PLN kepada investor asal China. Secara total, pemerintah meminta investor China menyewa 35 unit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berkapasitas 10.000 megawatt.
Hal itu dikatakan Wakil Ketua Komisi VI DPR Heri Gunawan di Jakarta Senin (22/6) menanggapi keterangan Meneg BUMN , Rini Soemarno bahwa keputusan untuk menyewakan kembali pembangkit listrik ke China akan memberikan banyak keuntungan bagi pemerintah dan PLN. Niat ini bisa mempercepat tambahan kapasitas penyediaan listrik.
“ Ini jelas pernyatan yang menyesatkan. Faktanya, rendahnya kapasitas program 10.000 MW tahap 1 tersebut karena kegagalan kontraktor China membangun pembangkit-pembangkit yang berkualitas. Dengan nilai investasi yang sama besar dengan kontraktor lain, China hanya mampu membangun pembangkit dengan kapasitas setengahnya. Karena itu, jika cara lease back itu adalah cara pemerintah untuk meminta pertanggungjawaban China, maka cara itu tidak tepat dan masuk akal,” tegas politisi Gerindra ini.
Menurutnya, puluhan pembangkit yang dibangun investor China yang masuk dalam program percepatan pembangunan (fast track programme) 10.000 MW tahap 1 memiliki kapasitas yang sangat rendah. Pembangkit listrik bertenaga batubara, energi terbarukan, dan gas tersebut, hanya mampu memproduksi listrik sekitar 30-50% dari kapasitas terpasang.
Rendahnya kapasitas listrik tersebut berdampak pada distribusi yang tidak memadai. Jika PLN membutuhkan listrik untuk 100 orang, maka buatan China ini hanya cukup untuk 30-50 orang saja. Yang lebih menyakitkan lagi, nilai investasinya sama besar jika dibandingkan dengan pembangkit listrik lain yang relatif sama.
Heri menambahkan, pemerintah mesti menanggung kerugian investasi yang tidak murah. Hitungan sederhananyaadalah : jika rata-rata nilai investasi 1 MW sebesar USD 1,5 juta atau sekitar Rp.19,5 miliar (kurs 13.000), maka proyek 10.000 MW menelan investasi sebesar Rp.195 triliun. Dengan kapasitas produksi yang hanya 30-50%, maka negara menanggung rugi investasi minimal =50-70% X Rp.195 triliun = Rp.97,5 triliun hingga Rp.136,5 triliun, “itu siapa yang nanggung, pemerintah..? Bukan..! yang nanggung adalah 250 juta rakyat Indonesia”.
Jelas rakyat harus kecewa karena proyek yang dibiayai dengan uang rakyat itu tidak mampu menerangi 16% rakyat Indonesia, termasuk mereka yang hidup di daerah-daerah pedalaman. Artinya, masih ada 10 juta rumah tangga yang akan tetap hidup dalam “gelap gulita”. Ujungnya, kegagalan proyek 10.000 MW akan semakin menyulitkan terwujudnya target rasio elektrifikasi sebesar 97,8%.
Jika skema lease back ini dipilih sebagai cara pemerintah”menggetok” investor China atas buruknya kualitas pembangkit listrik, maka cara yang tidak tegas. Bahkan, cara-cara yang seperti itu hanya menegaskan lemahnya posisi tawar pemerintah dalam kontrak-kontrak investasi yang selama ini dijalankan.
Ringkasannya, kegagalan program 10.000 MW tahap 1 telah menyebabkan kerugian berlipat-lipat. Kerugian itu sudah dan akan terus menjadi beban rakyat bertahun-tahun setelahnya. Karena itu, kerugian yang berlipat-lipat itu jangan ditambah lagi dengan “hilangnya kedaulatan” di bidang ketenagalistrikan lewat skema bernama lease back(sewa pembangkit oleh asing). Ibarat pepatah, jangan sampai rakyat yang “sudah jatuh...” lalu tertimpa tangga.” (spy,mp), foto : naefurodji/parle/hr.